Dua belas hari telah berlalu semenjak syahdu Ramadhan
berakhir dengan dentuman meriam dan gema takbir di ujung senja. Ketika gerah
dahaga dan sesak kabut asap berganti dingin tetesan hujan yang tersisa. Pagi
hari mulai berselimut mendung dan rasa was-was dalam hati para ibu usai gigih
mencuci setumpuk popok buah hatinya. Ketika cangkir-cangkir kopi dan berbatang-batang
rokok menjadi candu bagi kaum pengelana maya. Sekedip tanya tiba-tiba menyeruak
di antara riuh rasa mentega dan air berperisa, di antara taburan kata maaf di
ujung jemari yang seolah tak usai walaupun Syawal berganti. Ini lebaran, di
kota khatulistiwa. Di mana tradisi menancapkan akarnya nan kokoh. seperti
halnya di belahan lain negeri nusantara yang kaya ini. Di sini tradisi membalut
setiap perayaan keagamaan dengan erat. Bagaikan balutan Kain Motif Corak Insang
yang melilit gagah dan elok di pinggang-pinggang para Bujang Melayu.
Mengapa aku selalu ingin kembali menemui Ramadhan di kota
ini ?
Fenomena yang menjadi kekhasan menjelang
Ramadhan di Kota Pontianak salah satunya adalah kemunculan lapak-lapak lesehan
penjual Sotong Pangkong yang banyak ditemui sepanjang Jalan Merdeka, Pontianak.
Cumi-cumi kering berbagai ukuran yang pada prosesnya di pipihkan lagi atau ‘di
pangkong’ dengan palu setelah sebelumnya di bakar. Kemudian disajikan dengan
sambal kacang atau cabai tumbuk. Rasanya yang gurih, asin dan pedas menggoyang
lidah terasa mengasyikkan sambil menyeruput kopi atau es buah. Bersantai
bersama keluarga, teman dan handai taulan sambil menikmati Sotong Pangkong
setelah sehari penuh ibadah menjadi pilihan populer warga Pontianak sejak lama.
Kue Bingke Berendam adalah salah satu
kuliner khas Melayu Pontianak yang dijadikan souvenir kuliner khas Kalbar yang
semula hanya ditemui pada saat Ramadhan. Sebagai takjil atau sajian untuk
berbuka puasa dulunya menjadi menu wajib bagi sebagian warga yang mendiami
perkampungan Melayu. Bentuknya yang menyerupai bunga berkelopak enam dengan
tekstur lembut terkadang basah. Dulu, kue ini populer dengan sebutan Kue Bingke
dari Kampong Bangke. Di sebut juga dengan Kue Bingke Berendam sampai sekarang
belum di temui asal muasalnya, mungkin juga seperti kebanyakan orang-orang
Melayu katakan kue ini pada prosesnya terendam santan sehingga kelihatan
seperti kue yang terendam.
Ketika Ramadhan mulai memasuki sepuluh hari
terakhir, yang oleh orang Pontianak menyebutnya Malam Lekur/Selikuran. Warga
memasang sejenis pelita atau obor bambu di halaman-halam rumah mereka yang
menandakan masuknya sepuluh hari terakhir Ramadhan. Pelita atau obor bambu
berbahan bakar minyak tanah ini di sebutlah Keriang Bandong. Kini dengan
dikonversinya bahan bakar minyak tanah ke gas, fungsi pelita tergantikan dengan
lampu seri/led.
Dammm.....dummmm.....phufftt, gelegar
dentuman akan mengejutkan bagi sebagian orang yang baru pertama kalinya
Ramadhan di Kota Pontianak. Pastinya yang berpenyakit panikan akan kalut
setengah mati dan bagi yang berpenyakit paranoid akan segera mencari tempat berlindung.
Hahaha, inilah pamungkas Ramadhan di Kota Pontianak. Meriam Karbit ! Dulu,
tradisi memainkan meriam karbit di lakukan warga bantaran Sungai Kapuas sebagai
penanda masuknya bulan Ramadhan dan penanda waktu sholat. Tradisi ini menandai
sejarah awal berdirinya Kota Pontianak. Meriam yang terbuat dari batang pohon
(sekarang ada yang terbuat dari besi) dengan amunisi karbit ini di letakan
berjajar 4 sampai 12 batang di tepian Sungai Kapuas. Suara dentumannya
sahut-menyahut antara yang seberang Barat dan Timur. Bagaikan perang meriam,
permainan tradisional ini sekarang oleh Pemerintah Kota Pontianak di
festivalkan sebagai penanda masuknya Idul Fitri/Lebaran.
Inilah tradisi yang paling berkesan bagi
warga Pontianak dalam beberapa tahun terakhir. Sejak era reformasi bergulir
hingga sekarang. Setiap menjelang berbuka listrik padam bergiliran di setiap
kecamatan.Ttradisi yang dilakukan Perusahaan Listrik Negara ini setiap tahunnya
terjadi lantaran dengan alasan ‘beban puncak’ dikarenakan pada saat berbuka
puasa banyak warga yang menggunakan listrik.
(*kelak tradisi ini akan diajukan ke Balai
Penelitian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional....hihihihi)
Dingin di luar, hangat di dalam.
Tetes terakhir secangkir kopi usai ku teguk, sementara dari
luar cafe tampak langit kembali mendung. Meja-meja mulai sesak di penuhi
pengunjung. Mereka yang beristirahat siang atau yang sengaja mencari tempat
berteduh yang nyaman sambil menanti hujan turun. Tetes terakhir kopi yang rasanya membuatku ingin memesan kembali,
menyeruput kenangan yang tak habis di ujung kerongkongan.
Ramadhan berlalu tapi gelegar dentuman Meriam Karbit masih
meninggalkan pekak di telinga. Irama alunan sotong yang di pangkong
bertalu-talu, sahut-menyahut dengan rasa manis kue bingke yang terendam tradisi kental berhiaskan
kelap-kelip keriang bandong di gelap kota tanpa listrik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar